Kamis, 14 Maret 2013

Profil dan Karya Arifin C. Noer







Arifin Chairin Noer (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 – meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995 pada umur 54 tahun), atau lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer, adalah sutradara teater dan film asal Indonesia yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik.[1]
Arifin C. Noer adalah anak kedua Mohammad Adnan. Menamatkan SD di Taman Siswa, Cirebon, SMP Muhammadiyah, Cirebon, lalu SMA Negeri Cirebon tetapi tidak tamat, kemudian pindah ke SMA Jurnalistik, Solo. Setelah itu ia kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta.[1] Tahun 1972-1973 ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.[2]
Mulai menulis cerpen dan puisi sejak SMP dan mengirimkannya ke majalah yang terbit di Cirebon dan Bandung.[1] Semasa sekolah ia bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra, dan menjadi anggota Himpunan Sastrawan Surakarta.[1] Di sini ia menemukan latar belakang teaternya yang kuat.[1] Dalam kelompok drama bentukan Rendra tersebut ia juga mulai menulis dan menyutradarai lakon-lakonnya sendiri, seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja.[1]
Naskah karyanya, Lampu Neon, atau Nenek Tercinta, telah memenangkan sayembara Teater Muslim, 1987. [1]Kemudian saat kuliah di Universitas Cokroaminoto, ia bergabung dengan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro. Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil pada tahun 1968.[1]
Di tengah minat dan impiannya sebagai seniman, ia sempat meniti karir sebagai manajer personalia Yayasan Dana Bantuan Haji Indonesia dan wartawan Harian Pelopor Baru.[1]
Teater Kecil berhasil mementaskan cerita, dongeng, yang seperti bernyanyi.[1] Tentang orang-orang yang terempas, pencopet, pelacur, orang-orang kolong, dsb. Mencuatkan protes sosial yang transendental tetapi kocak dan religius.[1]
Naskah-naskahnya menarik minat para teaterawan dari generasi yang lebih muda, sehingga banyak dipentaskan di mana-mana.[1] Karyanya memberi sumbangan besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia dan menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu pencetus bentuk teater modern Indonesia.[1]
Naskah lakon Kapai-Kapai yang ditulis tahun 1970, terpilih sebagai salah satu karya dalam antologi seratus tahun drama Indonesia yang diterbitkan Yayasan Lontar,[3], diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Moths.[4]. Kapai-Kapai dipilih karena merupakan karya Arifin C Noer yang paling sering dipentaskan serta menandai titik balik penting dalam penulisan lakon di Indonesia, yakni dari teks drama realistis menjadi penulisan puitis yang menuntut agar dikonkretkan di atas panggung.[4] Kapai-Kapai berada di antara drama absurd Barat dan drama rakyat Indonesia. Menggambarkan dongeng masa kecil Arifin di Cirebon, Jawa Barat, dengan bahasa puitis yang kaya metafor, kata-kata berirama dan struktur ritmik.[4]
Teaternya akrab dengan publik. Ia memasukkan unsur-unsur lenong, stanbul, boneka (marionet), wayang kulit, wayang golek, dan melodi pesisir.[1] Menurut penyair Taufiq Ismail, Arifin adalah pembela kaum miskin.[1]
Arifin kemudian berkiprah di dunia layar perak sebagai sutradara. Pada film Pemberang ia dinyatakan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan mendapat piala The Golden Harvest. Ia kembali terpilih sebagai penulis skenario terbaik untuk film Rio Anakku dan Melawan Badai pada Festival Film Indonesia 1978. Ia mendapat Piala Citra.[1]
Mengaku otodidak di bidang sinematografi, ia mulai bekerja dengan kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu, 1976. Arifin merasakan pengalaman sebagai sutradara teater merupakan dasar yang perlu di dunia film.[1]
Film perdananya Suci Sang Primadona, 1977, melahirkan pendatang baru Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai aktris terbaik Festival Film Indonesia 1978.[1] Menurut Volker Schloendorf--sutradara Die Blechtrommel, pemenang Palme d'oro Festival Cannes 1979-- dari Jerman, film tersebut "menampilkan sosok wajah rakyat Indonesia tanpa bedak. Arifin cermat mengamati tempatnya berpijak."[1]
Menyusul film-film lainnya: Petualangan-Petualangan, Harmonikaku, Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Matahari-Matahari."[1] Serangan Fajar dinilai sebagai film FFI terbaik 1982."[1] Salah satu film Arifin yang paling kontroversial adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984). Film tersebut adalah filmnya yang terlaris dan dijuluki superinfra box-office. "[1] Film ini diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru untuk diputar di semua stasiun televisi setiap tahun pada tanggal 30 September untuk memperingati insiden Gerakan 30 September pada tahun 1965. Peraturan ini kemudian dihapus pada tahun 1997. Melalui film itu pula Arifin kembali meraih Piala Citra 1985 sebagai penulis skenario terbaik."[1]. Pada FFI 1990, filmnya Taksi dinyatakan sebagai film terbaik dan meraih 6 Piala Citra."[1]
Ia menikah dengan Nurul Aini, istrinya yang pertama, dikaruniai dua anak: Vita Ariavita dan Veda Amritha. Pasangan ini bercerai tahun 1979."[1] Arifin kemudian menikah dengan Jajang Pamoentjak, putri tunggal dubes RI pertama di Prancis dan Filipina, yang juga seorang aktris dikenal dengan nama Jajang C. Noer. Darinya, Arifin mendapat dua anak, yaitu: Nitta Nazyra dan Marah Laut."[1]

Benyamin Sueb
Benyamin Sueb lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939, Celetukan "muke lu jauh" atau "kingkong lu lawan" pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb. Sejak kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya buat biaya sekolah kakak-kakaknya. Benyamin sering mengamen ke tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang badan. Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5 sen dan sepotong kue sebagai "imbalan".

Penampilan Benyamin kecil memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat Benyamin disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939 ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak. Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat - menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng.

Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan "alat musik" itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu. Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi. Benyamin memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben sering ditraktir teman-teman sekolahnya.

SD kelas 5-6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia mengancam, "Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!" Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat.

Baru setelah menikah dengan Noni pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada tahun itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu Benyamin terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop. Benyamin Mengaku tidak punya cita-cita yang pasti. Tergantung kondisi, kata penyanyi dan pemain film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara
dilarang ibunya.

Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia. Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi.

Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Rock Al-Haj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut.

Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular. Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karier musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.

Benyamin yang telah empat belas kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia setelah koma beberapa hari seusai main sepak bola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung. Benyamin dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Ini dilakukan sesuai wasiat yang dituliskannya, agar dia dimakamkan bersebelahan dengan makam Bing Slamet yang dia anggap sebagai guru, teman, dan sosok yang sangat memengaruhi hidupnya.

Motinggo Busye

Montinggo Busye sebenarnya bernama asli Bustami Djalid. Lahir di Kupangkota, Bandar Lampung pada 21 November 1937 dan meninggal di Jakarta pada 18 Juni 1999 pada umur 61 tahun. Ia adalah seorang sutradara dan seniman Indonesia. Motinggo lahir dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub yang berasal dari Minangkabau. Ibunya berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab. Ketika usianya mendekati 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo diasuh neneknya di Bukittinggi hingga ia menamatkan SMA disana. Motinggo kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (tidak tamat).
Motinggo merupakan nama pena Bustami yang berasal dari Bahasa Minang: mantiko. Kata tersebut memilki makna antara sifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Namun mantiko dalam diri Motinggo bukanlah berkonotasi negatif. Untuk itu dia menambahkan kata bungo (bunga) dibelakang nama samarannya itu, sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Busye. Selain nama pena dan nama pemberian orang tua, sesuai Adat Minangkabau, Motinggo juga memilki nama dewasa (gelar) yaitu Saidi Maharajo.
Awal karier Motinggo dalam dunia tulis menulis, dimulai ketika perwira Jepang Yamashita datang ke rumahnya memberi mesin ketik. Mesin itu akhirnya menjadi sahabat Motinggo untuk mencurahkan ide-idenya. Selain itu, persentuhannya dengan buku-buku sastra Balai Pustaka, telah menumbuhkan minatnya untuk terjun di dunia sastra. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, "Nasehat buat Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain Bahasa Ceko, Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Jepang, dan Mandarin. Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Sepanjang hidupnya Motinggo telah menulis lebih dari 200 karya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan kongres di Washington, D. C.. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia.
Selain terlibat dalam dunia sastra dan drama, Motinggo juga menyukai melukis. Pada tahun 1954, sebuah pameran lukisan di Padang pernah menampilkan 15 lukisan karya Motinggo.
Beberapa Karya Montinggo Busye:
• Malam Jahanam (novel, 1962)
• Badai Sampai Sore (drama, 1962)
• Tidak Menyerah (novel, 1963)
• Hari Ini Tak Ada Cinta (novel, 1963)
• Perempuan Itu Bernama Barabah (novel, 1963)
• Dosa Kita Semua (novel, 1963)
• Tiada Belas Kasihan (novel, 1963)
• Nyonya dan Nyonya (drama, 1963)
• Sejuta Matahari (novel, 1963)
• Nasehat buat Anakku (kumpulan cerpen, 1963)
• Malam Pengantin di Bukit Kera (drama, 1963)
• Buang Tonjam (legenda, 1963)
• Ahim-Ha (legenda, 1963)
• Batu Serampok (legenda, 1963)
• Penerobosan di Bawah Laut (novel, 1964)
• Titian Dosa di Atasnya (novel, 1964)
• Cross Mama (novel, 1966)
• Tante Maryati (novel, 1967)
• Sri Ayati (novel, 1968)
• Retno Lestari (novel, 1968)
• Dia Musuh Keluarga (novel, 1968)
• Sanu, Infita Kembar (novel, 1985)
• Madu Prahara (novel, 1985)
• Dosa Kita Semua (novel, 1986)
• Aura Para Aulia: Puisi-Puisi Islami (1990)
• Dua Tengkorak Kepala (1999).

Ken Zuraida

Ken Zuraida dilahirkan di Salatiga, Jawa Tengah, 15 Mei 1954; umur 57 tahun) adalah aktris, sutradara dan produser teater Indonesia. Ia juga terkenal sebagai istri dramawan legendaris Indonesia, W.S. Rendra. Sejak masih sangat kecil akrab dengan lingkungan yang alamiah sekaligus dididik oleh keluarga yang sangat menguasai pendidikan kebudayaan. Ia tumbuh dengan kepekaan naluriah amat kuat dan kecerdasan kebudayaan lingkungan yang berlapis-lapis. Ini antara lain karena selalu bergerak di antara lingkungan elitis dan lapisan di bawahnya, antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, dimana ia menghayati masa remajanya di kota Bandung.
Pendidikan
Pernah kuliah di Unpad, Bandung (1973) dan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta (1974)
Karier
Ia terlibat di Bengkel Teater Rendra sejak 1974 hingga sekarang. Kegiatannya dari daerah ke daerah lain selama lebih 30 tahun itu sampai ke hampir sebagian besar kota di dunia. Selain mengorganisir keseharian Bengkel Teater Rendra ia juga memraktikan metode-metode latihan yang selama ini digali Rendra bersama Bengkelnya.
Pengalaman Pentas

• Tahun 1960-an teater kanak-kanak di lingkungan terbatas
• Sejak 1975 berpentas sebagai Setyawati dalam Kisah Perjuangan Suku Naga produksi Bengkel   Teater di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Selanjutnya dalam drama “Egmont” di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki di tahun yang sama.
• Tahun 1985 menangani artistik panggung di pentas baca sajak Rendra di gedung besar beberapa kota.
• Tahun 1986 artistik direktor pentas Panembahan Reso.
• Costume dan Set Designer's Rendra's adaptasi Hamlet 1990, TIM Jakarta
• Tahun 1987 mengubah suasana gereja St. Ann di New York untuk pentas “Selamatan Anak Cucu Sulaeman”, lalu di Tokyo, Hiroshima, pentas berikutnya di kota besar di Indonesia dan th 1998 di Kwachon, Korea Selatan.
• Koreografer dan penari "Nocturno", di Malang dan Bandung 1994
• Produser bersama Rendra, dan Agus.S.Sarjono, Internasional Puisi Indonesia tur ke Belanda, Jerman, Austria, Palestina, Maroko, Malaysia, Makasar, Bandung dan Solo, 2002
• Menulis Wayang Plastik Drama Akarawa, penampilan di sekolah umum di Sumatera dan Jawa
• Membaca puisi Brigitte Oleschinski TIM Jakarta, 2003
• Sejak itu menangani pentas “Oidipus Sang Raja” serta pentas-pentas di luar negeri hingga “Sobrat”, 2005, di Graha Bhakti Budaya, Jakarta.
• Tenaga ahli artistik di beberapa pentas di Eropa, juga Asia.
• Sebagai pemain Nenek berusia 678 tahun dalam pentas berdua dengan Rendra “Kereta Kencana” memperoleh pujian di kota-kota besar Indonesia hingga Kuala Lumpur Malaysia.
• Menerjemahkan drama dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia untuk beberapa pentas grup drama di Indonesia.
• Menulis Monolog dan memainkannya sendiri pada festival Monolong di Taman Ismail Marzuki, 2005.
• Beberapa bulan menyutradarai Pementasan Teater Nyai Ontosoroh pada tahun 2006, tapi tidak jadi tayang karena penyutradaraan kemudian digantikan oleh Wawan Sofwan pada tahun 200

Max Arifin
Max Arifin lahir dengan nama Mohammad Arifin di Sumbawa Besar, 18 Agustus 1936, meninggal dunia di Rumah sakit Sido Waras, Bangsal, Kabupaten Mojokerto, 1 Maret 2007 adalah seorang tokoh teater Indonesia. Semasa hidupnya hingga akhir hayatnya ia bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Lombok.
Pendidikan
Max menempuh pendidikan SD dan SMPnya di Sumbawa Besar, kemudian melanjutkan ke SMA di Yogyakarta. Setamatnya dari SMA ia melanjutkan ke Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lalu pindah ke IKIP Mataram mengambil jurusan bahasa dan sastra Inggris.
Pekerjaan
Sejak di bangku SMA ia sudah aktif dalam bidang seni sastra dan teater. Di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat ia bekerja pada Bidang Kesenian, diserahi seksi drama dan sastra (tradisional dan modern). Selama masa tugasnya itu ia pernah tiga kali mengikuti penataran seni drama di Cisarua dan Cipayung yang diselenggarakan oleh Depdikbud. Ia juga banyak menulis naskah drama, cerpen, dan puisi dan memimpin serta menyutradarai kelompok Teater Gugus Depan Mataram. Pada saat yang sama ia aktif membina seni drama/teater pada beberapa SMA dan fakultas di Mataram.
Ia juga banyak mengikuti berbagai pertemuan dan seminar yang berkaitan dengan kesenian dan teater. Ia merangkap pula sebagai redaktur budaya di harian Suara Nusa [sekarang Lombok Post) dan koresponden majalah Tempo untuk Lombok 1975-1979. Ia pernah menjadi juri pada beberapa festival teater di Jawa Timur dan di tingkat nasional (2000) dan se-Jawa Timur (2004), dan Jember (2004). Ia pernah membawa berbagai makalah dan menjadi nara sumber untuk teater dan kebudayaan umumnya di Jakarta, Bandung, Surabaya, Mojokerto, Jember. Pada tahun 2004 dan 2005 ia menjadi kurator bidang teater pada Festival Seni Surabaya.

Norbertus Riantiarno
Ia dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949; umur 62 tahun, atau biasa dipanggil Nano, adalah seorang aktor, penulis, sutradara, wartawan dan tokoh teater Indonesia, pendiri Teater Koma (1977). Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno.
Nano telah berteater sejak 1965, di kota kelahirannya, Cirebon. Setamatnya dari SMA pada 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Ia bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater populer pada 1968. Pada 1 Maret 1977 ia mendirikan Teater Koma, salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia saat ini. [1] Hingga 2006, kelompok ini telah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi.
Film layar lebar perdana karyanya, CEMENG 2005 (The Last Primadona), 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia.[1]
Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, antara lain:
• ''Rumah Kertas''
• J.J Atawa Jian Juhro
• ''Maaf. Maaf. Maaf''
• ''Kontes'' 1980
• Trilogi ''Opera Kecoa'' (''Bom Waktu'', ''Opera Kecoa''























KETOPRAK
Ketoprak adalah salah satu jenis makanan khas Indonesia menggunakan ketupat yang mudah dijumpai. Biasanya ketupat dijajakan menggunakan kereta dorong di jalan-jalan atau di kaki lima.
Komponen utamanya adalah tahu, bihun, mentimun, taoge dan bisa juga memakai telur rebus yang dilengkapi dengan saus kacang, kecap manis, dan taburan bawang merah goreng. Dapat pula dihidangkan dengan tambahan kerupuk atau emping melinjo. Beberapa versi ada pula yang menyertakan tempe sebagai komponennya. Alat yang digunakan untuk mengolah ketoprak tidaklah sulit anda hanya butuh Ulekan dan pisau.
TEATER
Teater (bahasa Inggris: theater atau theatre, bahasa Perancis théâtre berasal dari kata theatron (θέατρον) dari bahasa Yunani, yang berarti "tempat untuk menonton"). Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah, penafiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari public atau audience (bisa pembaca, pendengar, penonton, pengamat, kritikus atau peneliti). Proses penjadian drama ke teater disebut prose teater atau disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Teater dalam arti sempit adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehiudpan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak contohnya wayang orang, ketoprak, ludruk dan lain-lain.
Budayawan
Upita Agustine
 lahir dari pasangan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Basa dan Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang. Ia mulai menulis ketika bersekolah di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Mengikuti banyak penulis yang menggunakan nama pena, maka ia menyingkat nama kecilnya menjadi sebuah nama pena : Upita Agustine. Nama itu diambil dari Upik Tando dan bulan Agustus yang merupakan bulan kelahirannya.[1]
Sebagai seorang penulis puisi, Upita tergolong cukup produktif. Puisi-pusinya yang dipublikasikan antara lain : Bianglala (1973), Dua Warna (1975; bersama Hamid Jabbar), Terlupa dari Mimpi (1980), Sunting (1995; bersama Yvonne de Fretes), antologi Laut Biru Langit Biru (1977), Tonggak 3 (1987), dan Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia.[2]
Saat ini Upita juga aktif mengajar dan meneliti di Universitas Andalas, Padang.[3] Pada tahun 2010 dia dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas, dan menjadi satu-satunya guru besar di fakultas tersebut.[4]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar